Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makna Surat Asy-Syuara', Pemusik?!

Makna Surat Asy-Syuara', Pemusik?!

Asyu'ara' artinya "penyair", yang merupakan bentuk jamak dari lafadz asy-syu'ara' yang artinya "penyair". Surat yang terdiri dari 227 ayat ini termasuk dalam kelompok surah Makkiyah.

Disebut Surat Asy-Syu'ara' karena didalamnya terdapat lafadz asy-syu'ara' yang terdapat pada ayat 224, dimana Allah menyebutkan para penyair secara khusus. Dalam surat ini kami mengulas bahwa penyair berbeda dengan rasul. Kebanyakan penyair adalah orang yang suka memutarbalikkan kebenaran, tidak mempunyai pendapat, sedangkan perbuatannya tidak sesuai dengan kenyataan.

Hal ini dapat diringkas dengan menyatakan bahwa sebagian besar penyair tidak mengatakan apa yang mereka maksud dan tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka katakan; oleh karena itu perkataan mereka tidak mewakili niat mereka yang sebenarnya dan tindakan mereka juga tidak menggambarkan kenyataan.

Para rasul tidak seperti itu. Maka tidak pantas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disamakan dengan para penyair ketika Al-Qur'an digambarkan sebagai puisinya. Namun sebenarnya, Al-Qur'an bukanlah karya ciptaan manusia; itu adalah wahyu ilahi dari Allah.

Intisari Surat Asy-Syu'ara' berkisar pada:

Jaminan Allah atas keberhasilan para utusan dalam misi dan penyelamatan mereka; keharusan mengenai timbangan dan takaran, Larangan memproduksi puisi yang mengandung hinaan pribadi; Mengungkap takhayul dan kepalsuan; Narasi kisah Nabi Nuh; Menceritakan kisah Nabi Shalih; Kisah Nabi Musa dan Firaun diceritakan; Menceritakan kisah Nabi Luth; Merinci riwayat Nabi Hud; Dan yang terakhir menceritakan kisah Nabi Syu'aib bersama kaum Aikah.

Mereka yang berpendapat bahwa surat "Asy-Syu'ara" adalah surat pemusik tidak benar. Alasannya adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada referensi kitab tafsir atau ulama ahli tafsir klasik (salaf) atau kontemporer (kholaf) yang memaknai Asy Syu'ara sebagai pemusik. Oleh karena itu, memaknai Asyu'ara sebagai pemusik adalah penafsiran yang baru muncul di Indonesia pada saat ini. Jika pemahaman tafsir tidak didasarkan pada pendahulunya dari para ulama atau ahli, terutama penafsiran dari sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, itu menimbulkan kekeliruan dari perspektif manhaj (metode) agama. Tidak ada tafsiran dari para ahli tafsir yang terkenal di zaman khalaf, apalagi dari salaf (para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in) yang dapat diandalkan sebagai rujukan. Menafsirkan surat Asy-Syu'ara' sebagai pemusik adalah kekeliuran yang sangat berbahaya.

Dalam hadis dari sahabat Jundub bin Junadah -radhiyallahu’anhu - disebutkan bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang secara tegas menafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadi yang tidak pernah ada sebelumnya dari para salaf:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Siapa yang berbicara tentang ayat Al-Quran dengan pendapat pribadinya, maka dia telah kerilu meskipun ternyata benar." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Salah secara metode: meskipun kesimpulan yang dia buat ternyata benar dan sesuai dengan penafsiran para ulama salaf, tetap berdosa karena memahami Al Quran dengan cara yang salah. Terlebih lagi jika pemahamannya ternyata salah.

Dalam hadis lain, Nabi memberi tahu dengan lebih tegas! Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma-, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- mengatakan,
من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
"Siapa yang berbicara tentang ayat Al Quran dengan pendapat pribadinya, maka siapkanlah tempatnya di neraka" (HR. Tirmidzi, yang dianggap Hasan).

Hadis ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, rahimahullah: Jika seseorang mengatakan sesuatu dalam Quran berdasarkan pendapatnya sendiri, dia telah melakukan sesuatu yang tidak tahu dan mengikuti sesuatu yang diminta. Jika dia tahu arti sebenarnya dari ayat tersebut, dia akan bersalah karena tidak mengetahuinya. Ini seperti orang yang membuat keputusan salah di antara orang lain, meskipun keputusannya benar.

"Siapapun yang menafsirkan Al-Quran dengan pendapatnya sendiri telah membebani dirinya dengan beban yang tidak dia ketahui, dan telah menempuh jalan yang tidak diperintahkan kepadanya." Meskipun dia benar-benar memahami artinya, dia tetap tersesat karena dia datang dari pintu yang salah. Hal ini seperti mengatakan, "Orang yang memutuskan sesuatu di antara orang tanpa pengetahuan akan berada di neraka, meskipun keputusannya benar." (Majmu' Al-Fatawa: 13/371).

2. Musik dan syair adalah dua hal yang berbeda, tetapi seringkali bergabung. Memaknai syair sebagai musik sama saja dengan memaksakan dua benda yang berbeda, meskipun keduanya sering bersandingan. Karena kedua benda ini sering bercampur, Anda dapat menafsirkannya sebagai teh atau air putih. Ini pastinya pemahaman yang salah.

Di dalam kitabnya Al-‘Umdah, Ibnu Rasyiq (1), salah satu penyair arab terkenal dan terkenal di seluruh dunia, menulis, Musik adalah pakaian syair atau puisi. Jika tidak dipakaikan musik, maka ia akan terlipat (tidak dibaca/terabaikan). Di dalam bait ini, Ibnu Rasyiq menyatakan bahwa musik adalah pakaiannya syair; dengan kata lain, musik berfungsi sebagai pelengkap atau penghias syair. Syair yang tidak memiliki musik tetap dianggap sebagai syair. Ini menunjukkan bahwa, meskipun mereka adalah sahabat dekat, syair dan musik adalah dua hal yang berbeda.

Seperti yang kita kenal Chairil Anwar, W.S. Rendra, dan Taufik Ismail sebagai pujangga tanah air, orang bodoh tidak akan pernah menyebut pujangga sebagai pemusik.

Dua hal ini sebenarnya sangat berbeda satu sama lain dan tidak dapat ditafsirkan dengan mewakili satu sama lain.

3. Definisi bahasa Arab juga salah. Bentuk jamak dari kata Asy-Syaai’r الشاعر, artinya orang yang melantunkan syair, disebut Asy-Syu’ara’ الشعراء. Dalam bahasa Arab, syair berarti, "Kata-kata yang diucapkan dengan penuh perhitungan dan niat yang baik".

Menurut para ahli mantiq, syair adalah "Kata-kata yang terdiri dari khayalan, dimaksudkan untuk menggugah atau menakut-nakuti, seperti kata-kata: "Anggur adalah mutiara yang mengalir, dan madu adalah muntahan lebah." (sumber: Mu’jam Al-Ma’ani)

Coba perhatikan definisi di atas sambil memahami syair sebagai kata-kata secara sederhana. Dan kita semua tahu apa artinya, kan? Musik itu adalah suara atau irama yang muncul dari alat musik, bukan ungkapan yang diucapkan oleh lisan.

Bahkan jika kita harus mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak mewakili makna sebenarnya dari kata Asy-Syu’ara’, itu tidak akan sejauh itu. Apakah bijak memaknai sesuatu dengan salah satu elemen syair jika musik merupakan salah satu elemennya? Misalnya, ketika Anda ditanya tentang:
"Apa artinya air?"
"Air adalah oksigen," jawab Anda.
Apakah jawaban seperti ini benar dan pintar? karena oksigen adalah salah satu unsur air.
Pasti salah, bukan?!
Tidak aneh jika ada yang menafsirkan air sebagai oksigen; itu lebih cerdas, tetapi sama-sama salah. Oksigen adalah unsur utama air, jadi jika tidak ada oksigen, air tidak akan ada. Musik dalam syair hanyalah tambahan, mempercantik. sebagaimana disebutkan dalam bait Ibnu Rasyiq sebelumnya. Oleh karena itu, apakah ada orang yang menilai bahwa interpretasi air dengan oksigen benar? Atau, apakah ia tidak perlu memberikan penjelasan dan mengakui bahwa ia salah?

Wallahu 'alam bissawab

Catatan:
Ibn Rusyaiq berasal dari Kairouan, Tunisia, dan hidup dari tahun 390 hingga 463 H. Dia adalah seorang sastrawan, penyair, dan kritikus sastra Arab terkenal. Ia terkenal dengan penelitian linguistik, retorika, dan kritik sastra. Salah satu karyanya yang paling terkenal, Al-‘Umdah fi Shina’ah al-Shi’r wa Naqdih, yang berarti "Referensi tentang Karya Puisi dan Kritiknya", ditulis antara tahun 412 H dan 425 H.

Tim Belajar Syariah

Post a Comment for "Makna Surat Asy-Syuara', Pemusik?!"