Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa

Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa

Islam telah membolehkan beberapa perkara bagi orang yang puasa. Bila perkara-perkara ini dikerjakan, puasanya sah dan tidak batal. Apa saja perkara-perkara tersebut?

A. Memasuki Pagi Hari Dalam Keadaan Junub

Barang siapa yang tidur ketika puasa kemudian mimpi basah maka puasanya tidak batal, bahkan hendaknya dia meneruskan puasanya berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian pula barang siapa yang mimpi basah pada malam harinya, kemudian ketika bangun pagi hari masih dalam keadaan junub dan hendak puasa, maka puasanya sah, sekalipun dia tidak mandi kecuali setelah fajar. Hal itu berda- sarkan haditsnya Aisyah dan Ummu Salamah
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ
"Adalah Rasulullah pernah memasuki fajar pada bulan Ramadhan dalam keadaan junub sehabis berhubungan badan dengan istrinya bukan karena mimpi. Kemudian beliau berpuasa”. (HR. Bukhari No. 1926, Muslim No. 1109).

Demikian pula masuk dalam masalah ini adalah wanita yang haid dan nifas apabila darah mereka terhenti dan melihat sudah suci sebelum fajar, maka hendaknya ikut puasa bersama manusia pada hari itu sekalipun belum mandi kecuali setelah terbitnya fajar karena ketika itu dia sudah menjadi orang yang wajib puasa." (Ahadits Shiyam Ahkam wa Adab hlm. 107 Abdullah bin Shalih al-Fauzan).

B. Berciuman dan Berpelukan Bagi Suami Istri Asalkan Aman dari Keluarnya Mani

Boleh bagi suami istri untuk berpelukan dan berciuman pada siang hari Ramadhan jika dirinya mampu menahan syahwat hingga terjaga dari keluarnya air mani dan tidak terjatuh dalam perbuatan haram berupa jima'. Berdasarkan haditsnya Aisyah, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
"Dahulu Nabi pernah mencium dan bercumbu padahal be- liau sedang puasa, tetapi beliau adalah seorang di antara kalian yang paling mampu menahan syahwatnya." (HR. Bukhari No. 1927, Muslim No. 1106).

C. Mandi, Mendinginkan Badan, dan Berenang

Dari Abu Bakar bin Abdirrahman dari beberapa sahabat Nabi, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ
"Di 'Arj, saya melihat Rasulullah mengguyurkan air ke atas kepalanya dan beliau sedang puasa. Beliau ingin mengusir rasa dahaga atau panasnya." (HR. Abu Dawud No. 2365).

D. Berkumur-Kumur dan Memasukkan Air ke Hidung Tanpa Berlebihan

Dari Laqith bin Shabirah bahwasanya Rasulullah bersabda:
وَبَالِغُ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
"Bersungguh-sungguhlah kalian ketika memasukkan air ke dalam hidung, kecuali jika kalian sedang puasa”. (HR. Abu Dawud No. 2366).

Boleh berkumur-kumur bagi orang yang sedang puasa, hukum- nya sama saja baik ketika berwudhu, mandi, atau selain itu. Puasanya tidak batal walaupun sisa-sisa basahnya air masih ada di dalam mulut. Demikian pula jika sisa berkumur tertelan bersama air liur, maka tidak membatalkan puasa, karena hal itu sulit dihindari. (Raddul Mukhtar 2/98 Ibnu Abidin).

E. Mencicipi Makanan untuk Kebutuhan Selama Tidak Masuk Kerongkongan 
Ibnu Abbas berkata:
لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الخَلَّ أَو الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
"Tidak mengapa mencicipi cuka atau sesuatu apa pun selama tidak sampai masuk tenggorokan dan dia sedang puasa," (HR. Ibnu Abi Syaibah 3/47).

Syaikhul Islam berkata: "Mencicipi makanan bisa jadi dibenci bila tidak ada kebutuhan, tetapi tidak membatalkan puasa. Adapun jika ada kebutuhan maka dia seperti berkumur-kumur (boleh)”. (Majmu’ Fatawa 25/266 Ibnu Taimiyyah).

F. Berbekam Bagi yang Tidak Khawatir Lemah

Bekam adalah mengeluarkan darah kotor dari tubuh dengan menorehkan silet atau sejenisnya pada titik tertentu dari badan. Berbekam termasuk pengobatan nabawi yang ampuh dan mujarab. Akan tetapi, apakah hal ini dibolehkan bagi orang yang sedang puasa?

Sahabat mulia Ibnu Abbas mengatakan:
احْتَجَمَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ صَائِمُ
"Adalah Nabi berbekam padahal beliau sedang puasa." (HR. Bukhari No. 1939).

Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas akan bolehnya berbekam bagi orang yang sedang puasa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya tiga orang imam: Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i, dan pendapat ini adalah pilihan Imam Bukhari serta dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm. (Al-Muhalla 6/204 Ibnu Hazm).

Apabila dikhawatirkan dengan berbekam menyebabkan lemah pada badannya, maka berbekam hukumnya makruh. Syu'bah ber kata: "Aku mendengar Tsabit al-Bunani berkata: Anas bin Malik pernah ditanya: 'Apakah kalian dahulu memakruhkan bekam bagi orang yang berpuasa?" Dia menjawab: 'Tidak, kecuali apabila ditakutkan terjadi kelemahan." (HR. Bukhari No. 1940 ), Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini.

Adapun pendapat sebagian ulama seperti madzhab Hanabilah di kuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim yang mengatakan bahwa bekam dapat membatalkan puasa, dasarnya adalah hadits-hadits shahih yang mansukh (terhapus), yang dikatakan oleh Nabi sebelum turunnya keringanan berbekam. Abu Sa'id berkata:
رَخَّصَ النَّبِيُّ ﷺ فِي القُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ
"Adalah Rasulullah memberi keringanan bagi orang yang puasa untuk berciuman dan berbekam." (HR. an-Nasa'i dalam al-Kubra 3/345).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Imam Ibnu Hazm berkata: 'Sanadnya shahih, maka wajib mengambil hadits ini, karena keringanan itu datang setelah kewajiban. Maka hadits ini menunjukkan bah- wa hukum berbekam yang dapat membatalkan puasa telah terha- pus, baik untuk yang membekam atau yang dibekam." (Al-Muhalla 6/205, Fathul Bari 4/178 ).

Imam asy-Syaukani berkata: "Masalah bekam, hadits-haditsnya dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa berbekam hukumnya makruh bagi orang yang dikhawatirkan mengalami rasa lemah. Dan hukum makruh ini bisa bertambah berat jika rasa lemahnya menjadi sebab dia berbuka puasa. Akan tetapi, hal ini tidak dibenci bagi orang yang tidak mengalami lemah jika berbekam. Bagai manapun juga, menjauhi berbekam bagi orang yang sedang puasa adalah lebih utama." (Nailul Authar 4/279 asy-Syaukani).

G. Bersiwak, Celak, Tetes Mata, Donor Darah

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Bersiwak

Bersiwak dianjurkan pada setiap keadaan, baik dalam keadaan puasa atau tidak puasa, terutamanya ketika berwudhu dan hendak shalat. Rasulullah bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسَّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
"Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya akan aku pe- rintahkan kepada mereka bersiwak setiap kali hendak shalat." (HR. Bukhari No. 847, Muslim No. 252).

Imam Ibnul Arabi mengatakan: "Para ulama kita telah mengatakan; tidak sah satu hadits pun tentang hukum bersiwak bagi orang yang puasa, tidak ada yang menetapkan dan tidak ada juga yang meniadakan. Hanya, Nabi menganjurkan bersiwak setiap kali berwudhu dan setiap akan shalat secara umum, tanpa membe- dakan antara orang yang puasa dan tidak puasa” (Aridhatul Ahwadzi 3/256).

Ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini. Yaitu bolehnya bersiwak setiap waktu bagi orang yang puasa.

Bagaimana dengan pasta gigi sekarang, samakah dengan siwak?! Pasta gigi sekarang termasuk dalam hukum siwak sekalipun siwak dengan kayu arak lebih utama. Hal itu dengan beberapa alasan:

• Siwak secara bahasa artinya alat untuk menggosok, bisa de- ngan kain, kayu, dan sejenisnya.
• Dalam Shahih Bukhari No. 4451 disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersiwak dengan pelepah kurma yang basah.
• Adapun siwak dengan kayu arak lebih utama karena memang memiliki beberapa keutamaan yang tidak ada dalam pasta gigi seperti mudah dibawa, bisa digunakan setiap saat dan di setiap tempat, dan kandungan-kandungannya yang tidak ada dalam pasta gigi sekarang. Sekalipun demikian, pasta gigi juga memi- liki keistimewaan yang tidak ada dalam siwak kayu seperti dapat membersihkan gigi bagian dalam dan mengandung zat pembersih. Maka sebaiknya digabung antara keduanya, sekalipun siwak kayu lebih utama. (Syarh Umdah Fiqih 1/103–104 Abdullah al-Jibrin.).

Adapun pasta gigi-berkaitan dengan puasa terbagi menjadi dua macam:

• Pasta gigi yang memiliki rasa yang kuat sehingga sampai ke rongga, maka hendaknya dihindari karena bisa merusak pua- sanya.
• Pasta gigi yang tidak kuat rasanya, maka hukumnya adalah bolch. Wallahu A'lam. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 723–724).

2. Celak dan tetes mata

Menurut pendapat terkuat, memakai celak mata bagi orang yang sedang puasa dibolehkan karena celak mata tidak mempengaruhi orang yang puasa, sama saja dia mendapati rasanya di tenggorokan atau tidak. Ini adalah pendapatnya Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan di kuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. (Al-Majmu’ 6/348, Haqiqatush Shiyam hlm. 37).

Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya: "Anas, Hasan, dan Ibrahim berpendapat bahwa celak mata bagi orang yang puasa tidak mengapa." (Al-Majmu’ 6/348, Haqiqatush Shiyam hlm. 37).

Adapun obat tetes mata, kebanyakan ulama kontemporer mengatakan tidak membatalkan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/260).

3. Donor Darah dan Tes Darah

Masalah donor darah, para ulama kontemporer menyamakan status hukumnya dengan hukum berbekam. Dengan demikian, donor darah hukumnya tidak membatalkan puasa sebagaimana berbekam. Begitu pulalah tes darah. Wallahu A'lam. (al-Mufthirath al-Mu’ashirah hlm. 94 Ahmad al-Khalil).

H. Menelan Ludah

Menelan ludah tidak membatalkan puasa, karena perkara ini termasuk sesuatu yang sulit dihindari. Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Tidak apa-apa menelan ludah ketika puasa. Saya tidak mendapati perselisihan ulama tentang bolehnya, sebab hal itu sulit untuk dihindari." (Majmu’ Fatawa wa Maqalat 5/313).

Namun, apabila dia sengaja mengumpulkan liur lalu menelannya, apakah membatalkan puasa?! Masalah ini diperselisihkan ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak batal dan sebagian ulama mengatakan batal, tetapi pendapat yang kuat adalah tidak batal karena tidak ada dalil yang menyatakan batal.

Post a Comment for "Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa"